Karakter Dan Pendidikan Karakter
MAKALAH
Tugas ini dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu
Tugas pada mata Kuliah Bahasa Indonesia pada Jurusan Tarbiyah Prodi Pendidikan Agama Islam Semester 2
OLEH:
Chilma Nihayatul Ulya
02161140
Dosen Pemandu : Andi Sri Mularahmah,.S.Pd,.M.Pd
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
STAIN WATAMPONE
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Banyak factor yang meneybabkan runtuhnya karakter bangsa Indonesia
pada saat ini. Diantaranya adalah factor pendidikan. Kita tentu sadar bahwa
pendidikan merupakan mekanisme institusional yang akan mengakselerasi pembinaan
karakter bangsa dan juga berfungsi sebagai arena mencapai principal dalam
pembinaan karakter bangsa. Berkaitan dengan pembentuka karakter peserta didik
sehingga mampu bersaing, beretika, mermoral dan sopan santun dan berinteraksi
dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat
(Ali Ibrahim Akbar,2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan
semata-mataoleh pengetahuan dan kemampuan teknis saja(hard skill), tetapi lebih
oleh kemampuan menelola diri dan orang lain(soft skill). Penelitian ini
mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill
dan soft skill. Bahkan orang orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan
lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan
bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.
Melihat masyarakat di Indonesia sendiri juga lemah sekali dalam penguasaan soft
skill.
B.Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini yakni.
1.
Apa
pengertian karakter?
2.
Seperti
apa pendidikan karakter?
3.
Bagaimana
peran keluarga dalam pendidikan karakter?
4.
Bagaimana
peran guru disekolah dalam pendidikan karakter?
5.
Bagaimana
hubungan pendidikan karakter dengan kecerdasan moral?
C.Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan makalah ini yaitu:
1.
Untuk
mengetahui apa itu karakter
2.
Untuk
mengetahui pendidikan karakter
3.
Untuk
mengetahui peran keluarga dalam pendidikan karakter
4.
Untuk
mengetahui peran guru dalam pendidikan karakter
5.
Untuk
mengetahui hubungan pendidikan karakter dengan kecerdasan moral
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Karakter
Apa itu karakter? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah
‘karakter’ berarti ‘sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang
membedakan seseorang dari yang lain, tabiat, watak.[1]
Bila dilihat dari asal katanya, istilah ‘karakter’ berasal dari bahasa Yunani karasso,
yang berarti ‘cetak biru’,’format dasar’ atau ‘sidik’ seperti dalam sidik
jari.[2]
Secara
konseptual, lazimnya, istilah ‘karakter’ dipahami dalam dua kubu pengertian. Pengertian
pertama , bersifat determinstik. Disini karakter dipahami sebagai
sekumpulan kondisi rohaniah pada diri kita yang sudah teranugerahi atau ada
dari sononya( given). Dengan demikian ia merupakan kondisi
yang kita terima begitu saja, tak bisa kita ubah. Ia merupakan tabiat seseorang
yang bersifat tetap, menjadi tanda khusus yang membedakan orang yang satu
dengan lainnya. Pengertian kedua , bersifat non determinstik atau
dinamis. Disini karakter dipahami sebagai tingkat kekuatan atau ketangguhan
seseorang dalam upaya mengatasi kondisi rohaniah yang sudah given. Ia
merupakan proses yang dikehendaki oleh seseorang (willed) untuk
menyempurnakan kemanusiaannya.
Bertolak
dari tegangan (dialektika) dua pengertina itu, muncullah pemahaman yang lebih
realistis dan utuh mengenai karakter. Ia dipahami sebagai kondisi rohaniah yang
belum selesai. Ia bisa diubah dan dikembangkan mutunya, tapi bisa pula
diterlantarkan sehingga tak ada peningkatan mutu atau bahkan makin terpuruk.
Berdasarkan
pemahaman itu, maka orang yang bersifat pasrahpada kondisi-kondisi diri yang
sudah ada, disebut berkarakter lemah. Disisi lain, mereka yang tak mau
begitu saja menerima kondisi-kondisi diri yang sudah ada, melainkan berusaha
mengatasinya, disebut berkarakter kuat atau tangguh, mereka senagtiasa
berupaya menyempurnakan diri, meskipun menghadapi tekanan dari luar dan godaan dari dalam.
Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah upaya tang dilakukan dengan sengaja untuk
mengembangkan karakter yang baik (good character) berlandaskan
kebajikan-kebajikan inti yang secara objektif baik bagi individu maupun
masyarakat. Kebajikan-kebajikan inti disini merujuk pada dua kebajikan
fundamental dan sepuluh kebajikan esensial sebagaimana telah diuraikan diatas.
Dalam
paradigma lama, keluarga dipandang sebagai tulang punggung pendidikan karakter.
Hal ini bisa dipahami, karena pada masa lalu, lazimnya keluarga-keluarga bisa
berfungsi sebagai tempat terbaik bagi anak-anak untuk mengenal dan
mempraktikkan berbagai kebajikan. Para orang tua biasanya memiliki kesempatan
mencukupi serta mampu memanfaatkan tradisi yang ada untuk mengenalkan secara
langsung berbagai kebajikan kepada anak-anak melalui teladan, petuah,
cerita/dongeng, dan kebiasaan setiap hari secara intensif. Demikianlah,
keluarga-keluarga pada masa lalu umumnya dapat diandalkan sebagai tulang
punggung pendidikan karakter.
Akan
tetapai, proses modernisasi membuat banyak keluarga mengalami perubahan
fundamental.[3]
Karena tuntutan pekerjaan, kini banyak keluarga yang hanya memiliki sangat
sedikit waktu bagi berlangsungnya perjumpaan yang erat antara ayah, ibu, dan
anak. Bahkan, makin banyak keluarga yang, karena tuntutan pemenuhan kebutuhan
hidup, memilih untuk tidak tinggal dalam satu rumah, melainkan saling berjauhan
tempat tinggal antara ayah, ibu, dan anak. Belum lagi, makin banyak keluarga
bermasalah ,tidak harmonis, terjadi baerbagai kekerasan dalam rumah tangga,
bahkan perceraian.
Singkat
kata, kini makin banyak keluarga yang tidak bisa berfungsi sebagai tempat
terbaik bagi anak-anak untuk mendaparkan pendidikan karakter. Itulah sebabnya
amat baik bila sekolah menyelenggarakan pendidikna karakter. Bahkan, sekolah
perlu terus berupaya menjadikan dirinya sebagai tempat terbaik bagi kaum muda
untuk mendapatkan pendidikan karakter.
Sedikitnya,
ada empat alasan mendasar mengapa sekolah pada masa sekarang perlu lebih
bersungguh-sungguh menjadikan dirinya tempat terbaik bagi pendidikan karakter.[4]
Diantaranya sebagai berikut :
1.
Karena
banyak keluarga (tradisional maupun non tradisional) yang tidak melaksanakan
pendidikan karakter
2.
Sekolah
tidak hanya bertujuan membentuk anak yang cerdas, tetapai juga anak yang baik
3.
Kecerdasan
seorang anak hanya bermakna manakala dilandasi dengan kebaikan
4.
Karena
membentuk anak didik agar berkarakter tangguh bukan sekadar tugas tambahan bagi
guru, melainkan tanggung jawab yang melekat pada perannya sebagai seorang guru
Mengapa kini banyak orang
menginginkan agar sekolah makin peduli pada pendidikan karakter?. Itu karena
pendidikan karakter ibarat sauh yang membuat kita semua punya alas an kuat
untuk tetap memiliki harapan dan sikap optimis bahwa masyarakat yang lebih baik
akan terwujud kelak dikemudian hari. Maka, sungguh sayang manakala ada sekolah
yang mengabaikan atau bersikap setengah hati dalam menanggapi keinginan
masyarakat itu. Sekolah yang berdedikasi, pastilah akan menerima dengan
antusias tanggung jawab social yang cukup menantang
Ada beberapa prinsip pendidikan
karakter, meliputi:
a)
Sekolah
harus berkomitmen pada nilai nilai etis inti
b)
Karakter
harus dipahami secara utuh, mencakup pengetahuan atau pemikiran, perasaan, dan
tindakan
c)
Sekolah
harus bersikap proaktif dan bertindak sistematis dalam pembelajaran karakter
dan tidak sekedar menunggu datangnya kesempatan
d)
Sekolah harus membangun suasana saling memperhatikan
satu sama lain dan menjadi dunia kecil mengenai masyarakat yang salin peduli
e)
Sekolah
perlu bekerja bersama dan mendialogkan norma mengenai pendidikan karakter
f)
Harus
dilakukan evaluasi mengenai efektifitas pendidikan karakter disekolah terutama
terhadap guru dan karyawan, serta siswa
Peran Keluarga dalam Pendidikan
Karakter
Pengembangan karakter merupakan
proses seumur hidup . pengembangan karakter anak merupakan upaya yang perlu
melibatkan semua pihak, baik keluarga inti, keluarga (kakek-nenek), sekolah,
masyarakat, maupun pemerintah. Oleh karena itu keempat koridor ini harus
berjalan secara terintegrasi. Pemerintah, lembaga social, tokoh
masyarakat/tokoh agama, pemuka adat, dan lainnya memiliki tanggung jawab yang
sama besarnya dalam melaksanakan pendidikan karakter. Anak-anak akan tumbuh
menjadi pribadi yang berkarakter jika ia tumbuh pada lingkungan yang
berkarakter juga. Dengan begitu, fitrah setiap anak yang dilahirkan suci dapat
berkembang secara optimal. Untuk itu tiga pihak yang mempunyai peran penting
agar pembangunan karakter pada anak dapat ditumbuh kembangkan, yaitu keluarga,
sekolah dan komunitas.
Pada keluarga inti, peranan utama
pendidikan terletak pada ayah dan ibu. Philips menyarankan bahwa keluarga
hendaknya menjadi sekolah untuk kasih sayang , atau tempat belajar yang penuh
cinta sejati dan kasih sayang. Menurut Gunaldi, ada tiga peran utama yang dapat
dilakukan ayah dan ibu dalam mengembangkan karakter anak. Pertama
berkewajiban menciptakan suasana yang hangat dan tenteram. Tanpa ketentraman
akan sukar bagi anak untuk belajar apapun dan anak akan mengalami hambatan
dalam pertumbuhan jiwanya. Ketegangan atau ketakutan adalah wadah yang buruk
bagi perkembangan karakter anak. Kedua, menjadi panutan yang positif
bagi anak sebab anak belajar terbanyak dari apa yang dilihatnya, bukan dari apa
yang didengarnya. Karakter orang tua yang diperlihatkan melalui perilaku nyata
merupakan bahan pelajaran yang akan diserap anak. Ketiga, mendidik anak,
artinya mengajarkan karakter yang baik dan mendisiplinkan anak agar berperilaku
sesuai dengan apa yang telah diajarkannya..[5]
Secara perinci, setidaknya terdapat 10
cara yang dapat dilakukan ayah-ibu untuk melakukan pengasuhan yang tepat dalam
rangka mengembangkan karakter yang baik pada anak, antara lain:
1.
Menempatkan
tugas dan kewajiban ayah-ibu sebagai agenda utama.
2.
Mengevaluasi
cara ayah-ibu dalam menghabiskan waktu selama sehari/seminggu
3.
Menyiapkan
diri menjadi contoh yang baik
4.
Membuka mata dan telinga terhadap apa saja
yang sedang mereka serap/alami
5.
Menggunakan
bahasa karakter
6.
Memberikan
hukuman dengan kasih sayang
7.
Belajar
untuk mendengarkan anak
8.
Terlibat
dalam kehidupan sekolah anak
9.
Tidak
mendidik karakter melalui kata-kata saja
10.
Tidak
mendidik karakter melalui kata-kata saja
Keluarga
adalah sekolah tempat putra putri belajar. Dari sana mereka mempelajari
sifat-sifat mulia, seperti kesetiaan, rahmat, dan kasih sayang. Dari kehidupan
keluarga seorang ayah dan suami memperoleh dan memupuk sifat keberanian dan
keuletan sikap dan upaya dalam membela sana keluarganya dan membahagiakan
mereka pada saat hidupnya dan setelah kematiannya. Keluarga adalah unit
terkecil yang bisa menjadi pendukung dan pembangkit lahirnya bangsa dan
masyarakat. Tidaklah memeleset jika dikatakan al-usrah’imad al-bilad biha
tahya wa biha tamut (keluarga adalah tiang Negara, dengan keluargalah
Negara bangkit dan runtuh).
Peran Guru di Sekolah dalam
Pendidikan Karakter
Guru
adalah profesi yang mulia, mendidik dan mengajarkan pengalaman baru bagi anak
didiknya. Apa yang membuat guru dikatakan hebat? Kualitas apa yang diharapkan
pada diri seorang guru? Berikut adalah beberapa tips bagaimana menjadi guru
berkarakter yang hebat.[6]
1.
Mencintai
anak. Cinta yang tulus kepada anak adalah modal awal mendidik anak.
Guru menerima anak didiknya apa adanya, mencintainya tanpa syarat dan mendorong
anak untuk melakukan yang terbaik pada dirinya. Penampilan yang penuh cinta
adalah dengan senyum, sering tampak bahagia dan menyenangkan dan pandangan
hidupnya positif.
2.
Bersahabat
dengan anak dan menjadi teladan bagi anak. Guru
harus bisa diguru dan ditirunoleh anak. Oleh karena itu, setiap apa yang
diucapkan dihadapan anak harus benar dari sisi apa saja. Keilmuan moral, agama
dan budaya. Cara penyampaianya pun harus “menyenangkan” dan beadab. Ia harus
bersahabat dengan anak-anak tanpa ada rasa kikuk. Anak senangtiasa mengamati
perilaku gurunya dalam setiap kesempatan.
3.
Mencintai
pekerjaan guru. Guru yang
mencintai pekerjaannya akan senagtiasa bersemangat. Setiap tahun ajaran baru
adalah dimulainya satu kebahagiaan dan satu tantangan baru. Guru yang hebat
tidak akan merasa terbebani dan bosan.
4.
Luwes
dan mudah beradaptasi dengan perubahan. Guru
harus terbuka dengan tekhnik mengajar baru, membuang rasa sombong dan selalu
mencari ilmu. Ketika masuk kelas, guru harus dengan pikiran terbuka dan tidak
ragu mengevaluasi gaya mengajarnya sendiri, dan siap berubah jika diperlukan
5.
Tidak
pernah berhenti belajar. Dalam rangka
meningkatkan profesionalitasnya, guru harus selalu belajar dan belajar.
Gambar: Ciri Guru Berkarakter
Apabila ciri-ciri tersebut dimiliki
oleh guru alih alih disbut sebagai guru berkarakter, tentu keresahan di dunia
pendidikan tidak akan terjadi. Keresahan yang paling menonjol akhir-akhir ini
adalah kekerasan terhadap siswa. Sekedar contoh, yang masih diingatan kita
adalah kasus seorang guru yang menendang siswanya hingga geger otak, kasus
seorang guru yang memukuli satu persatu siswanya yang terlambat masuk kelas.
Mengapa demikian? Beban tugas guru yang berat, kesejahteraan yang belum baik,
dan rendahnya”kecerdasan” emosional merupakan salahsatu sebab mengapa guru bisa
berbuat khilaf dengan jalan menebarkan aroma kekerasan didalam kelas.
Menurut Carl Witherington, ada empat
hal yang harus diketahui guru untuk mengetahui emosi siswanya, yaitu
1)
Aspek
emosi yang terlihat oleh mata seperti gemetar, takut sehingga matanya
terbelalak, menggeretakkan gigi unruk mengepresiasikan rasa marah dan
sebagainya.
2)
Emosi
yang ditunjukkan oleh sikap kurang senang, senang, benci.
3)
Ungkapan-ungkapan
atau umpatan dari siswa, dan
4)
Kecenderungan
emosi yang bersifat kualitatif, misalnya dirangsang oleh individu lain hingga
timbul rasa senang, benci, jijik, malu, marah dan sebagainya
Ciri Dasar Pendidikan Karakter
Menurut
Foerster, pencetus pendidikan karakter dan pedagog jerman, ada empat cirri
dasar dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior dimana
setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normative
setiap tindakan. Kedua, koherensi yang member keberanian, membuat
seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang ambing pada situasi baru
atau dekat resiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu
sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang. Ketiga,
otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadu
nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan
pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain. Keempat, keteguhan
dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa
yang dipandang baik, dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas
komitmen yang dipilih.[7]
Gambar: Ciri
dasar pendidikan Karakter
Kematangan keempat karakter ini,
lanjut Foerster. Memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas.”orang-orang
modern sering mencampuradukkan individualitas dan personalitas, antara aku
alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior’’. Karakter
inilah yang menentukan performa seorang pribadi dalam segala tindakannya.
Dalam
praktiknya, Lickona dkk menemukan sebelas prinsip agar pendidikan karakter
dapat berjalan evektif kesebelas prinsip tersebut sebagai berikut[8]
1)
Kembangkan
nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi
karakter yang baik
2)
Devinisikan
‘karakter’ secara komperehensif, yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku
3)
Gunakan
pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan
karakter
4)
Ciptakan
komunitas sekolah yang penuh perhatian
5)
Beri
siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral
6)
Buat
kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta
didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil
7)
Usahakan
mendorong motivasi diri siswa
8)
Libatkan
staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung
jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang
sama yang membimbing pendidikan siswa
9)
Tumbuhkan
kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif
pendidikan karakter
10)
Libatkan
keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter
11)
Evaluasi
karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh
mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.
Dalam pendidikan karakter sangat
penting dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti kepedulian, kejujuran,
keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama
dengan nilai-nilai kinerja pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja yang
tinggi, dan kegigihan sebagai basis karakter yang baik. Sekolah harus
berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai-nilai
dimaksud, mendevinisikannya dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam
kehidupan sekolah sehari-hari. Selain itu, sekolah harus mencontohkan
nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikannya, menggunakannya sebagai dasar
dalam hubungan antarmanusia, dan mengapresiasi manifestasi nilai-nilai
tersebutdisekolah dan masyarakat
Hubungan Pendidikan karakter dengan
pengembangan kecerdasan moral
Pendidikan
karakter secara esensial, yaitu untuk mengembangkan kecerdasan moral atau
mengembangkan kemampuan moral anak-anak. Cara menumbuhkan karakter yang baik
dalam diri anak didik adalah dengan membangun kecerdasan moral. Kecerdasan
moral adalah kemampuan memahami hal yang benar dan yang salah, artinya memiliki
keyakinan etika yang kuat dan bertindak berdasarkan keyakinan tersebut,
sehingga orang bersikap benar dan terhormat[9].
Kecerdasan yang sangat penting ini mencakup karakter-karakter utama, seperti
kemampuan untuk memahami penderitaan orang lain dan tidak bertindak jahat,
mampu mengendalikan dorongan dan memunda pemuasan, mendengarkan dari berbagai
pihak sebelum memberikan penilaian, menerima dan menghargai perbedaan, bisa
memahami pilihan yang tidak etis, dapat berempati, memperjuangkan keadilan, dan
menunjukkan kasih sayang dan rasa hormat terhadap orang lain. Ini merupakan
sifat-sifat utamayang akan membentuk anak menjadi baik hati, berkarakter kuat,
dan warga Negara yang baik. Inilah yang paling diharapkan dari anak-anak kita.
Kecerdasan
moral dapat dipelajari, dan dapat memulai membangunnya saat anak masih dalam
usia balita. Meski pada usia tersebut mereka belum mempunyai kemampuan kognitif
untuk melakukan penalaran moral, seperti melatih control diri, bersikap adil,
menunjukkan rasa hormat, berbagi dan berempati. Namun kenyetaannya, riset
terbaru dalam bidang perkembanagan moral menunjukkan bahwa bayi berusia
enambulan sudah dapat menunjukkan respons terhadap kesedihan orang lain dan
mempelajari dasar-dasar empati. Kesalahan yang seringterjadi adalah orang tua
menunggu hingga anak berusia enam atau tujuh tahun(yang disebut tahap
penalaran) untuk membangun moral. Penundaan seperti itu hanya akan membuat anak
semakin berkesempatan mempelajari kebiasaan negative yang merusak. Hal ini akan
mengganggguperkembangan moral, sehingga mereka semakin sulit untuk berubah.
Meski kecerdasan moral dapat dipelajari, tetapi tidak dijamin dapat dicapai.
Kecerdasan moral harus secara sadar dipelajari dan ditumbuhkan. Semakin cepat
menanamkan kemampuan kecerdasan moral anak, semakin besar kesempatannya
membangun dasar-dasar yang dibutuhkan bagi pembentukan karakter yang kuat,
serta kesempatannya mengembangkan kemampuan berpikir, berkeyakinan, dan
bertindak sesuai nilai-nilai moral. Kecerdasan moral terbangun dari beberapa
kebajikan utama yang membantu anak menghadapi tantangan dan tekanan etika yang
tidak dapat dihindarkan dalam kehidupannya kelak. Kebajikan utama tersebutlah
yang akan melindunginya agar tetap selalu bermoral dalam bertindak. Berikut
tujuh kebajikan utama yang akan menjaga sikap baik seumur hidup pada anak[10]:
a.
Empati
b.
Hati
nurani
c.
Kontrol
diri
d.
Rasa
hormat
e.
Kebaikan
hati
f.
Toleransi
g.
Kedilan
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
karakter
dipahami sebagai tingkat kekuatan atau ketangguhan seseorang dalam upaya
mengatasi kondisi rohaniah yang sudah given. Ia merupakan proses yang
dikehendaki oleh seseorang (willed) untuk menyempurnakan kemanusiaannya.
2.
Pendidikan
karakter adalah upaya tang dilakukan dengan sengaja untuk mengembangkan
karakter yang baik (good character) berlandaskan kebajikan-kebajikan
inti yang secara objektif baik bagi individu maupun masyarakat
3.
Peran
keluarga sangat penting dalam pendidikan karakter karena keluarga merupakan
sekolah pertama bagi anak dalam menjalani rutinitas sehari-hari.
4.
Menurut
Carl Witherington, ada empat hal yang harus diketahui guru untuk mengetahui
emosi siswanya, yaitu
1)
Aspek
emosi yang terlihat oleh mata seperti gemetar, takut sehingga matanya terbelalak,
menggeretakkan gigi unruk mengepresiasikan rasa marah dan sebagainya.
2)
Emosi
yang ditunjukkan oleh sikap kurang senang, senang, benci.
3)
Ungkapan-ungkapan
atau umpatan dari siswa, dan
4)
Kecenderungan
emosi yang bersifat kualitatif, misalnya dirangsang oleh individu lain hingga
timbul rasa senang, benci, jijik, malu, marah dan sebagainya
5.
Cara
menumbuhkan karakter yang baik dalam diri anak didik adalah dengan membangun
kecerdasan moral. Kecerdasan moral adalah kemampuan memahami hal yang benar dan
yang salah, artinya memiliki keyakinan etika yang kuat dan bertindak
berdasarkan keyakinan tersebut, sehingga orang bersikap benar dan terhormat
B.
Saran
Penulis bersedia menerima kritik dan saran yang
positif dari pembaca. Penulis akan menerima kritik dan saran tersebut sebagai
bahan pertimbangan yang memperbaiki makalah ini di kemudian hari. Semoga
makalah berikutnya dapat penulis selesaikan dengan hasil yang lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas.2008
kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: Gramedia Pustaka utama,2008
Doni
Koesoema A.2007.pendidikan karakter. Jakarta: Grasindo
Lickona.1991character education in America’s school.California:
Innerchoiche publishing
Saptono.2012.
dimensi-dimensi pendidikan karakter.jawa tengah: Erlangga
Mukti
amini.2008,pengasuhan Ayah Ibu yang patut, kunci sukses mengembangkan
karakter anak. Yogyakarta:Tiara Wacana
Muslich
masnur.2013. pendidikan karakter:menjawab tntangan krisis multidimensional jakarta:Bumi
akasara,
Zubaedi,2011.
Desain Pendidikan Karakter. Jakarta:Kencana
[1] Depdiknas.. kamus Besar Bahasa Indonesia.(
Jakarta: Gramedia Pustaka utama,2008), h. 623
[2] Doni Koesoema A..pendidikan karakter. (Jakarta:
Grasindo,2007)
[3] Lickona.character
education in America’s school.( California: Innerchoiche publishing1991) h. 31
[4]
Saptono.dimensi-dimensi
pendidikan karakter.(jawa tengah: Erlangga,2012).h. 24
[5]
Mukti amini,pengasuhan Ayah Ibu yang patut, kunci sukses
mengembangkan karakter anak(Yogyakarta:Tiara Wacana,2008), h.108
[6]
Muslich masnur.pendidikan karakter:menjawab tntangan krisis
multidimensional (.jakarta:Bumi akasara,2013) h.56
[8] Muslich,masnur.pendidikan
karakter:menjawab tntangan krisis multidimensional .h. 129
[9] Zubaedi, Desain
Pendidikan Karakter( Jakarta:Kencana,2011). h. 57
[10] Zubaedi.
Desain Pendidikan Karakter, h.145
Tidak ada komentar:
Posting Komentar