PEMINANGAN
MAKALAH
Tugas ini dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu
Tugas pada mata Kuliah Fiqih pada Jurusan Tarbiyah Prodi Pendidikan Agama Islam Semester 3
OLEH:
Chilma
Nihayatul Ulya 02161140
Ulfa
Reni 02161113
Asriana 02161127
Dosen Pemandu : Arianti,.S.Pd.I,.M.Pd
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
STAIN WATAMPONE
2017
KATA
PENGANTAR
Syukur alhamdullilah
senangtiasa kita panjatkan atas kehadirat Allah Swt. Karena atas berkah,
rahmat, hidayat dan kesehatan dari-Nya, sehingga kita bisa menyelesaikan
makalah ini. Dan tak lupa shalawat dan salam kita kirimkan untuk baginda
Nabiullah Muhammad Saw, nabi yang telah membawa ummatnya dari zaman jahiliah kezaman
yang terang-benderang, juga nabi yang telah diutus oleh Allah Swt. kemuka bumi
ini sebagai rahmatanlilalamin.
Makalah ini kami buat
dengan tujuan untuk memenuhi salah satu mata kuliah yakni Fiqih. Kami
berharap dalam penyusunan makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.
Tentunya kami sadari
bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu saran
dan kritik kami perlukan dalam hal yang bersifat membangun karena tidak
dipungkiri bahwa makalah ini masih terdapat kesalahan dalam penyusunanya.
Watampone,23 Oktober
2017
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang..................................................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah................................................................................................ 2
C.
Tujuan
Pembahasan............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Al-Quran............................................................................................ 2
B.
Proses
turunnya Al-Quran .................................................................................. 4
C.
Al-Quran
turu secara bertahap............................................................................. 5
D.
Ayat
pertama dan yang terakhir turun................................................................. 6
E.
Al-makkiy
wa al-madaniy.................................................................................... 6
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan.......................................................................................................... 20
B.
Saran.................................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 21
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pernikahan dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang luhur dan
sakral, bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan
dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggungjawab, dan mengikuti
ketentuan-ketentuan hukum yang harus diindahkan. Dalam Undang-Undang RI Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I pasal 1, perkawinan ialah ikatan lahir
bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan tujuan pernikahan
adalah sebagaimana difirmankan Allah s.w.t. dalam surat Ar-Rum ayat 21 “Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang (mawaddah warahmah). Sesungguhnya
pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang
berfikir”. Mawaddah warahmah adalah anugerah Allah yang diberikan kepada
manusia, ketika manusia melakukan pernikahan.
Pernikahan
merupakan sunah nabi Muhammad saw. Sunnah diartikan secara singkat adalah,
mencontoh tindak laku nabi Muhammad saw. Perkawinan diisyaratkan supaya manusia
mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan
akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan ridha Allah SWT, dan hal ini telah
diisyaratkan dari sejak dahulu, dan sudah banyak sekali dijelaskan di dalam
al-Qur’an:
Dan kawinkanlah orang-orang
yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari
hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika
mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha
Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.(QS. an-Nuur ayat 32).
B.Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini yakni.
1.
Apa
itu pernikahan?
2.
Bagaimana
syarat dan hokum pernikahan?
3.
Apa
dasar perkawinan menurut UU No.1 tahun 1974?
4.
Apa
itu khitbah?
5.
Bagaimana
Hukum Mengkhitbah wanita?
C.Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan makalah ini yaitu:
1.
Untuk
mengetahui apa itu pernikahan
2.
Untuk
mengetahui syarat dan hokum pernikahan
3.
Untuk
mengetahui dasar perkawinan menurut UU No.1 tahun 1974
4.
Untuk
mengetahui apa itu khitbah
5.
Untuk
mengetahui hukum menghitbah sorang wanita
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pernikahan
Pernikahan merupakan upacara
pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan
maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hokum, dan norma
sosial.
Dalam terminology Islam, perkawinan
disebut denagn istilah nikah yaitu, suatu akad atau perjanjian antara seorang
laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan biologis antara kedua belah
pihak, dengan dasar sukarela dan keridahan kedua belah pihak untuk membangun keluarga
sakinah mawaddah wa rahmah.[1]
Dalam ilmu Fikih “nikah”
disepadankan dengan istilah “Zawaj” yang mengandung dua unsur pengartian, yakni
arti hakikat dan majaz. Arti hakikat dari zawaj adalah dham yang berarti
menghimpit, menindih atau berkumpul. Sedang arti majaznya sedangkan arti
majaznya adalah watha’ yang berartibersetubuh.[2]
Pengertian pernikahan menurut Ahmad Ashar Bashir, pernikahan adalah melakukan
suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan
perempuan untuk menhalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak untuk
mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang
dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhai Allah swt. Menurut Muhammad
Yunus pengertian pernikahan atau perkawinan ialah akad antara calon laki istri
untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syariat. Dalam hali ini,
aqad adalah ijab dari pihak wali perempuan atau wakilnya dan Kabul dari calon
suami atau wakilnya.
[1]
Soemiyati, Hukum prkawianan Islam dan UU perkawian, (Yogyakarta:Liberty,1999),
h.8
[2]
Kamal Mukhtar, Azas-azas Hukum Islam tentang perkawianan (Jakarta:Bulan
Bintang, 1993) h.1
Pengertian pernikahan atau
perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, pernikahan adalah
sebuah ikatan lahir batin antara seoarang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia
dan kekal yang didasarkan pada ketuhanan yang maha esa.
Kaitannya dengan pengertian nikah
atau perkawinan, berikut ini akan dikemukakan pandangan para imam mazhab,
sebagai berikut:
a.
Golongan
hanafi mendefinisikan nikah sebagai berikut
“Nikah adalah akad yang memfaedahkan
memiliki dan bersenang-senang dengan sengaja.[1]”
b.
Golongan
al-Syafi’iyah mendefinisikan nikah sebagai berikut:
Nikah itu adalah akad yang
mengandung ketentuan hokum kebolehan watha’ dengan lafaz nikah atau yang
semakna dengan keduanya.
c.
Golongan
malikiyah mendefinisikan nikah sebagai berikut:
Nikah adalah akad yang mengandung
ketentuan hokum semata-mata untuk membolehkan watha bersenang-senang dan
menikmati apa yang ada pada diri seorang wanita yang boleh nikah dengannya.
d.
Golongan
Hanabilah mendefinisikan nikah sebagai berikut:
Nikah adalah akad denagn menggunakan
lafaz nikah atau tazwij guna membolehkan manfaat, bersenang-senang dengan
wanita.
B.
Syarat sah pernikahan
Syarat
sah pernikahan adalah ketentuan-ketentuanyang harus dipenuhi agar pernikahan
yang dilaksanakan merupakan pernikahan yang sah dan diakui secara hokum
sehingga hak dan kewajiban yang berkenaan dengan pernikahan dapat berlaku.
Berikut ini merupakan syarat sah pernikahan.[2]
1.
Perempuan
yang dinikahi bukan mahram
2.
Pernikahan
dihadiri oleh saksi
C.
Hukum Perkawinan
Ada beberapa hokum yang berlaku pada
pernikahan, yaitu sebagai berikut.
1.
Wajib
Pernikahan dieajibkan bagi mereka yang sudah mampu untuk
melaksanakannya dan takut akan terjerumus kedalam perzinaan. Dalam hal ini,
menjaga diri dan kehormatan dari hal-hal yang diharamkan adalah wajib.
Penjagaan tersebut hanya bisa terpenuhi dengan pernikahan.
2.
Dari Sunnat
Dilihat dari
pertumbuhan fisik (jasmani) seseorang telah wajar dan berkeinginan untuk
menikah, serta dari segi biaya hidup bagi keluarganya kelak, seseorang
dipandang berkemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya walaupun secara
sederhana, maka baginya sunnat untuk melakukan perkawinan. Sedangkan bagi
wanita yang belum mempunyai keinginana untuk menikah, akan tetapi butuh
perlindungan atau nafkah dari seorang suami maka baginya sunnat.
3.
Haram
Seorang mengawini
wanita hanya dengan maksud menganianya atau memperolok-oloknya, maka haramlah
baginya untuk kawin.
4.
Makruh
Seseorang yang
dipandang dari segi jasmanianya sudah wajar untuk kawin tetapi belum sangat
mendesak dan biaya untuk kawinbelum ada, sehingga kalau kawin hanya akan
menyenserahkan hidup istri dan anak-anaknya, maka bagi orang yang demikian
makruh baginya untuk kawin.
5.
Mubah
Sebagai mana
yang telah dikemumkakan bahwa melakukan perkawinan hukumnya mubah.berdasarkan
Hal ini firman Allah dalam Qur’an surah
Al-Nisa ayat 24
Terjemahannya: Dan
(diharamkan juga kamu mengawini ) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak
yang kamu miliki (Allah telah menetapakan hukum itu) sebagai ketetapannya atas
kamu. Dan dihalalkan selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan
hartamu untuk dikawini bukan untuk berzinah.[3]
D.
Tujuan Perkawinan
1.
Berbakti
kepada Allah
2.
Memnuhi
atau mencukupkan kodrat manusia yang telah menjadi hokum bahwa antara pria dan
wanita saling membutuhkan.
3. Mempertahankan keturunan dan ketentraman hidup rohaniah antara pria
dan wanita
4. Mendekatkan dan saling menimbulkan pengertian antara golongan manusia
untuk menjaga keselamatam hidup.[4]
E.
Rukun Perkawinan
1.
Calon
mempelai laki-laki dan perempuan
Mempelai
laki-laki dan perempuan merupakan pihak-pihak yang hendak melakukan perkawinan[5].
Oelehnya itu baik perempuan maupun laki-laki harus memenuhi syarat-syarat
tertentu supaya perkawinan yang dilakukan menjadi sah menurut hukum. Adapun
syarat-syarat mempelai laki-laki yaitu:
a.
Mempelai
laki-laki beragama Islam
b.
Terang
bahwa memoelai laki-laki betul adalah laki-laki.
c.
Orangnya
diketahui dan tertentu
d.
Calon
mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon perempuan.
e.
Calon
mempelai laki-laki tahu atau kenal pada calon istri serta tahu bahwa calon
istrinya halal baginya.
f.
Calon
suami ridho (tidak dipaksa untuk melakukan perkawinan)
g.
Tidak
sedang melakukan ihram
h.
Tidak
mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istrinya, tidak sedang mempunyai
istri empat
Syarat-syarat mempelai perempuan
a.
Beragama
islam
b.
Terang
bahwa ia perempuan bukan Khunsa
c.
Perempuan
itu tertentu orangnya
d.
Halal
bagi calon suami
e.
Perempuan
itu bukan dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam iddah
f.
Tidak
dipaksa
g.
Tidak
dalam keadaan Ihram
2.
Wali
nikah
Wali merupakan
rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk
menikahkannya[6].
Sayarat-syarat wali yaitu:
a.
Berakal
b.
Baliqh,
anak-anak tidak sah menjadi wali
c.
Islam
d.
Laki-laki
e.
Adil
f.
Merdeka
g.
Wali
tidak sah jika dipaksa menjadi wali
h.
Wali
harus cakap, tidak sah perwaliannya orang bodoh
i.
Tidak
cacat penlihatannya
j.
Mahram
dari perempuan yang bersangkutan
k.
Tidak
sedang Ihram
3.
Akad
nikah atau ijab Kabul
Akad artinya
ikatan atau perjanjian. Akad nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh
wali dan Kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh
dua orang saksi.
4.
Mahar
Menurut ulama
mazhab Hanafi mendefinisikan mahar sebagai sejumlah harta yang menjadi hak
istri karena akad perkawinan.
F.
Undang-Undang(UU) Nomor 1 tahun 1974 Tentang: Perkawinan
DASAR PERKAWINAN
Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan
Yang Maha Esa.
Pasal 2
(1)
Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agamanya dan
kepercayaan itu.
(2)
Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3
(1)
Pada
azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2)
Pengadilan
dapat member izinkepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan.
Pasal 4
(1)
Dalam
hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam
pasal 3 ayat (2) undang-undang ini maka ia wajib mengajukan permohonan kepada
pengadilan didaerah tempat tinggalnya.
(2)
Pengadilan
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya member izin kepada seorang suami yang
akan beristri lebih dari seorang apabila
a.
Istri
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
b.
Istri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c.
Istri
tidak dapat melhirkan keturunan.
Pasal 5
(1)
Untuk
dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal
4 ayat (1) Undang-undang harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut
a.
Adanya
persetujuan dari istri/istri-istri
b.
Adanya
kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak
mereka.
(2)
Persetujuan
yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi suami
apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin diminta persetujuannya dan tidak
dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada khabar dari
istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun, atau karena sebab-sebab lainnya
yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan
SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
Pasal 6
(1)
Perkawinan
harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
(2)
Untuk
melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapat isin kedua orang tua
(3)
Dalam
hal seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu menyatakan kehendaknya maka isin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup
diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu
menyatakan kehendaknya.
(4)
Dalam
hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan
kehendaknaya, maka izin diperoleh dari walih , orang yang memelihara atau
keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
(5)
Dalam
hal ada perbedaan pendapat orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan
(4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan
pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hokum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin
setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan
(4) pasal ini.
(6)
Ketentuan
tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hokum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain.[7]
Pasal 7
(1)
Perkawinan
hanya di izinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita
sudah mencapai umur 16 tahun.
(2)
Dalam
hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada
pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria
maupun pihak wanita
(3)
Ketentuan-ketentuan
mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat
(3) dan (4) Undang-undang ini berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi
tersebut. Ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal
6 ayat (6)
Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang
a.
Berhubungan
darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas
b.
Berhubungan
darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang
dengan saudara orang tua dan antara sorang dengan saudara neneknya.
c.
Berhubungan
semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri
d.
Berhubungan
sesusuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan paman/bibi
susuan.
e.
Berhubungan
saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal
seorang suami beristri lebih dari seorang.
f.
Mempunyai
hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Pasal 9
Seorang yang masih terikat tali
perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal tersebut
pada pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undan ini.
Pasal 10
Apabila suami dan istri yang telah
cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya,
maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi. Sepanjang hokum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain.
Pasal 11
(1)
Bagi
seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
(2)
Tenggang
waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah lebih lanjut.
G.
Pengertian Khitbah
Khitbah
merupakan sebuah aksi (fi’lah), ikatan(‘iqdah), dan posisi(jilsah).
Contohnya seorang laki-laki mengkhitbah seorang perempuan. Artinya, laki-laki
itu mengajak menikah(melamar/meminangnya) dengan cara yang lumrah dan biasa
dilakukan oleh orang secara umum.
Secara
bahasa, khitbah berasal dari bahasa Arab yang berarti bicara. Khitbah bisa juga
diartikan sebagai ucapan yang berupa nasihat, ceramah, pujian, dan lain
sebagainya[8].
Pelaku khitbah disebut khatib atau khitb, yaitu orang yang mengkhitbah
perempuan. Khitbah merupakan pendahuluan dari pernikahan. Allah Swt.
Mensyariatkan khitbah sebelum dilaksanakan ikatan pernikahan agar tiap-tiap
pasangan yang akan menikah mengenal pasangannya, sehingga mendapatkan
kemantapan hati melaksanakan pernikahan
H.
Perempuan yang boleh di Khitbah
Siapa
saja yang boleh dikhitbah? Seorang laki-laki dilarang menghitbah seorang
perempuan, kecuali perempuan itu memenuhi dua syarat[9].
1. Perempuan itu tidak dalam posisi menghalanginya untuk dinikahi
secara syara’.
2. Perempuan itu tidak sedang dalam proses dikhitbah oleh laki-laki
lain.
Jika
pada diri perempuan yang hendak dikhitbah itu ada sesuatu yang menghalanginya
untuk dinikahi secara syara’ seperti mahramnya, baik mahram abadi maupun
sementara, atau perempuan itu terlebih dahulu dikhitbah oleh laki-laki lain,
maka laki-laki kedua yang hendak mengkhitbah tadi tidak diperbolehkan untuk
mengkhitbah perempuan itu.
I.
Hokum mengkhitbah perempuan yang sedang Iddah
Seorang
laki-laki diharamkan untuk meng-khitbah perempuan yang sedang dalam masa Iddah,
baik karena kematian suaminya maupun talak, baik talak satu maupun tiga. Jika
perempuan itu sedang dalam masa Iddah dari talak satu, maka diharamkan untuk
meng-khitbahnya, karena perempuan itu masih berada dalam ikatan pernikahan.
Dalam hal ini, suaminya berhak untuk merujuknya kapanpun ia menginginkannya.
Jika
perempuan itu sedang dalam masa Iddah talak tiga dari suaminya, maka diharamkan
untuk mengkhitbahnya secara terang-terangan, karena hak suaminya masih berlaku
atas dirinya. Suaminya berhak kembali kepadanya dengan melakukan akad nikah baru.
Dalam hal ini, khitbah dari laki-laki lain terhadap perempuan yang dalam masa
iddah itu dapat merampas hak dari suaminya.
Para
ulama berpendapat mengenai khitbah dengan sindiran kepada perempuan yang dalam
masa iddah. Pendapat yang benar adalah bahwa khitbah itu diperbolehkannya.
Bagi
perempuan yang ditinggal mati suaminya, khitbah dengan sindiran itu boleh
dilakukan selama masa iddah, karena hubungan suami-istri antara keduanya telah
terputus karena kematian. Suami tidak lagi memiliki hak atas istrinya. Dalam
hal ini, tujuan pelarangan khitbah secara terang-terangan disatu sisi adalah
untuk menghormati perempuan yang sedang berkabung dan disisi lain untuk menjaga
perasaan sanak keluarga suaminya.
Allah
swt. Berfirman,
“dan
tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau
kamu sembunyikan (keinginan) didalam hati. Allah mengetahui bahwa kamu akan
menyebut-nyebut kepada mereka. Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian (untuk
menikah) dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan kata-kata
yang baik. Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa
iddahnya. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada didalam hatimu, maka
takutlah kepadanya…(al-baqarah {2}: 235)
Maksud
perempuan-perempuan pada ayat diatas adalah perempuan yang sedabg didalam masa
iddah karena kematian suaminya. Maksud sindiran adalah ungkapan laki-laki yang
menggambarkan keinginannya untuk meminang tanpa menyebutkannya secara
terang-terangan. Contohnya ucapan laki-laki, ‘’aku ingin sekali menikah, aku
berharap semoga Allah memudahkan jalanku untu menikahi seorang wanita salehah,
atau Allah telah menetapkan kebaikan bagimu.’’
Pemberian
hadiah kepada perempuan yang berada pada masa iddah diperbolehkan dan hal itu
termasuk sindiran. Begitu pula memuji dan menjelaskan kisi-kisi diri sebagai
sindiran ajakan untuk menikah.
Para
ulama berbeda pendapat mengenai seorang laki-laki yang meminang perempuan yang
berada pada masa iddah secara terang-terangan, tetapi melaksanakan akad
pernikahan setelah masa iddahnya habis.[10]
1.
Imam
Malik berpendapat bahwa keduanya harus dipisahkan, baik sudah terjadi hubungan
suami istri maupun belum.
2.
Imam
Syafi’I berpendapat bahwa akad yang dilaksanakan tetap sah walaupun ia telah
melakukan larangan yang telah ditetapkan karena perbedaan kondisi.
Akan
tetapi, jika akad pernikahan dilaksanakan pada masa iddah, para ulama
bersepakat bahwa keduanya harus dipisahkan, walaupun telah terjadi hubungan
suami istri.
Pertanyaan
selanjutnya adalah apakah nanti mereka diperbolehkan untuk menikah lagi? Dalam
hal ini, jiga terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama.
1.
Imam
Malik, Laits, dan Auza’I berpendapat bahwa laki-laki tadi tidak boleh menikahi
perempuan itu lagi nantinya.
2.
Jumhur
Ulama berpendapat bahwa laki-laki tadi diperbolehkan untuk menikahi perempuan
itu jika telah habis masa iddahnya, jika ia berkehendak.
J.
Hukum mengkhitbah tunangan orang lain
Seorang
laki-laki diharamkan untuk meminang perempuan yang telah dipinang oleh
laki-laki lain karena hal itu melanggar hak laki-laki yang meminang sebelumnya
sekaligus akan melukai perasaannya. Perbuatan itu akan menimbulkan perpecahan
dan persiteruan diantara mereka
Larangan
tersebut berlaku apabila perempuan tersebut atau walinya sudah menerima lamaran
laki-laki pertama secara tegas atau jelas.
Dalam
hal ini, khitbah boleh dilakukan oleh laki-laki kedua apabila memenuhi beberapa
hal berikut.
1.
Pihak
perempuan sudah menolak khitbah laki-laki pertama atau menjawabnya dengan
sindiran, misalnya dengan mengucapkan, “aku tidak membencimu”
2.
Laki-laki
kedua tidak mengetahui adanya khitbah laki-laki pertama.
3.
Pihak
perempuan belum member kepastian kepada laki-laki pertama, apakah ia menerima
atau menolak lamarannya.
4.
Laki-laki
pertama telah memberikan isin kepada laki-laki kedua[11].
Syafi’I
meriwayatkan hadis bahwa ketika seorang laki-laki meminang seorang perempuan
dan perempuan itu menerima pinangannya(perempuan tadi)
Apabila
laki-laki yang ingin meminang tidak mengetahui jawaban perempuan tadi atas
pinangan laki-laki pertama, maka ia boleh meminangnya. Tetapi, apabila ia
meminang setelah perempuan tadi menerima pinangan laki-laki pertama, maka ia
telah berdosa.
Jika
kemudian mereka menikah, pernikahan itu sah secara syara’ karena larangan tadi
berlaku dalam hal khitbah dan bukan termasuk syarat sahnya pernikahan. Karena
itu, pernikahan tersebut tidak perlu dibatalkan. Tetapi, dawud berpendapat
lain, ‘’Apabila peminang kedua menikahi perempuan tadi, maka pernikahan harus
dibatalkan baik sebelum maupun sesudah melakukan pernikahan.’’
K.
Hokum
memandang perempuan yang akan dikhitbah
salah
satu factor yang dapat memantapkan, menentramkan, dan melanggengkan kehidupan
berumah tangga adalah pandangan seorang laki-laki kepada perempuan sebelum
melakukan khitbah, sehingga ia dapat mengetahui kadar kecantikannya. Dengan
melihat calon pasangannya itu akan memotovasi dan memantapkan hati laki-laki
untuk menikahi perempuan tersebut atau keburukannya yang memicunya untuk
berpaling bila tidak menyukainya.
Seorang
yang berakal tidak akan melakukan sebuah pekerjaan sebelum mengetahui baik
buruknya perbuatan itu. A’masy berkata, ‘’swtiap pernikahan yang tidak
didahului dengan pandangan, pada akhirnya hanya akan menghadirkan kegelisahan
dan kerisauan.
Beberapa
pandangan sebelum khitbah itu sangat dianjurkan oleh syariat. Beberapa dail
yang mendukung antara lain.
1.
Jabir
bin Abdullah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. Bersabda,
‘’ketika seseorang meminang
perempuan, jika memungkinkan, hendaknya ia memandang perempuan itu untuk
melihat sesuatu yang dapat memotivasi dirinya untuk menikah dengannya.
Jabir berkata,’’ketika aku ingin
meminang seorang perempuan dari bani salamah, aku bersembunyi mengendap-endap
untuk dapat melihatnya, sehingga aku menemukan sesuatu yang memotivasiku untuk
menikahinya.’’
2.
Mugirah
bin Syu’bah meriwayatkan bahwa dirinya meminang seorang perempuan, rasulullah
saw bertanya kepadanya, ‘’apakah kau sudah melihatnya?’’
Ia menjawab,’’belum.’’
Rasulullah saw. Bersabda, “lihatlah
ia terlebih dahulu, niscaya hal itu lebih berpotensi untuk dapat melanggengkan hubungan
(kasih sayang) diantara kalian nantinya.’’
3.
Abu
Huraira a.r meriwayatkan bahwa seorang laki-laki bermaksud meminang perempuan
anshar, Rasulullah saw bertanya kepadanya “apakah kau sudah melihatnya?”
Laki-laki itu menjawab, “belum”
Rasulullah saw bersabda, “pergi
dan lihatlah ia terlebih dahulu, sesungguhnya di dalam mata kaum anshar ada
sesuatu(kecil/sipit)”
L.
Hukum dan dampak negative membatalkan khitbah
Khitbah(pertungan)
merupakan tindakan pendahuluan yang dilakukan sebelum pernikahan. Didalam pelaksanaanya,
kebanyakan orang mulai menyerahkan mahar, baik secara keseluruhan maupun
sebagainya, member hadiah dan hibah (hantaran), mempercepat silaturahmi, dan
mengukuhkan pertalian diantara keluarga keduanya.
Terkadang
pembatalan pertunangan bisa saja terjadi, baik berasal dari pihak laki-laki,
pihak perempuan, maupun dari kedua belah pihak secara bersamaan. Pertanyaan
yang muncul adalah, apakah hal itu diperbolehkan? Dan bagaimana dengan hadiah
yang telah diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Adakah
keharusan untuk mengembalikannya?
Pada
dasarnya khitbah hanyalah janji untuk menikah, bukan akad pernikahan itu
sendiri. Pembatalan khitbah merupakan hak dari tiap-tiap pihak yang saling
berjanji. Tidak ada konsekuensi hokum bagi mereka yang membatalkannya. Tetapi,
islam menggolongkan pembatalan itu kedalam perilaku yang tidak terpuji dan
memasukannya kedalam golongan sifat munafik, kecuali jika dalam pembatalan itu
ada alasan dan kepentingan yang cukup mendesak yang menjadikan mereka tidak
dapat menetapi janji.
Berkenaan
dengan mahar, ketika terjadi pembatalan khitbah, laki-laki berhak untuk
mengambil kembali mahat yang telah diberikan dalam rangka pernikahan. Selam
pernikahan belum terlaksana, maka pihak perempuan tidak memiliki hak sedikitpun
atas mahar yang diberikan dalam rangka pernikahan. Selama pernikahan belum
terlaksanakan maka pihak perempuan tidak memiliki hak sedikit pun atas mahar
yang diberikan ia harus mengembalik mengembaikannya karena merupakan hak
laki-laki sepenuhnya.
Mengenai
hadiah, ia mengambil posisi hibah (hantaran). Hadiah tidak boleh dikembalikan
jika itu murni pemberian, tanpa adanya ikatan atu syarat, karena penerima
hadiah berhakdan menjadi pemilik apa yang telah diberikan kepadanya sejak ia
menerimanya. Ia berhak mempergunakan dan memanfaatkan apa yang telah menjadi
miliknya. Pengambilan kembali hadiah yang telah diberikan merupakan perampasan
hak milik tanpa kerelaan pemiliknya. Hal itu merupakan perbuatan batil menurut
Islam. Akan tetapi, jika hibah diberikan dalam rangka mengharapkan balasan dari
penerima, maka jika penerima itu belum melaksanakan apa yang diminta, pemberi
berhak untuk mengambil kembali apa yang telah diberikan. Dalam keadaan seperti
ini, pemberi berhak meminta kembali apa yang telah dihibakan karena yang
memberikannya atas dasar sesuatu yaitu pernikahan. Apabila pernikahan tidak
terlaksana, maka laki-laki berhak mengambil kembali hadiah yang telah
diberikannya.
Ibnu
Abbas r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda bahwa :
“seseorang
dilarang untuk memberikan pemberian atau hadiah kemudian mengambilnya kembali,
kecuali hadiah atau pemberian yang diberikan dari orang tua kepada anaknya”
“seseorang yang mengambil kembali
pemberiannya, ibarat orang yang menelan muntahnya kembali”
Salim r.a meriwayatkan dari ayahnya
bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“barang
siapa yang memberikan suatu pemberian, maka sesungguhnya ia lebih berhak atas
pemberiannya itu diganti dengan kompensasi”
Metode yang digunakan dalam
memadukan hadist-hadist diatas adalah seperti disebutkan didalam a’lam
al-muwaqqi’in hibah yang tidak boleh diminta atau diambil kembali adalah hibah
yang diberikan secara tulus, dalam artian tanpa meminta imbalan apapun,
sedangkan hibah yang diberikan dalam rangka mengharapkan sesuatu dari penerima,
maka hibah itu bileh diambil kembali selama penerim belum melaksanakan apa yang
ia kehendaki. Dengan begitu, sunnah rasul didalam hadist-hadistnya dapat
terpenuhi tanpa tumpang-tindih antara hadist-hadist itu.
Sementara itu, segala bentuk
perbuatan yang dilakukan berdasarkan hokum yang berlaku merupakan penerapan
fiqih mashab hanafi. Ulama mashab ini berpendapat bahwa laki-laki berhak untuk
mengambil kembali hadiah yang telah ia berikan kepada tunangannya jika barang
itu berharga dan tidak berubah dari bentuk aslinya sejak saat diberikan,
misalnya gelang, cincin, kalung dan jam tangan. Laki-laki diperbolehkan untuk
memintanya kembali jika barang-barang masih ada dan utuh. Jika hadiah itu
berubah, hilang terjual, berupa makanan yang telah dikonsumsi,atau kain yang
telah dijahit menjadi baju, maka hadish itu tidak boleh diminta kembali, baik
dalam bentuk barang itu sendiri maupun penggantinya
Ulama mazhab maliki berpendapat
lain. Mereka membedakan antara pembatalan khitbah dari pihak laki-laki dan perempuan.
Jika pembatalan berasal dari pihak laki-laki, maka ia tidak berhak meminta
kembali hadiah yang telah diberikan kepada pihak perempuan. Tetapi, apabila
pembatalan diajukan oleh pihak perempuan, maka laki-laki tadi berhak untuk
mengambil semua hadia yang telah ia berikan. Dalam hal ini, pihak perempuan
berkewajiban untuk mengembalikannya atau menggantinya bila barang yang telah
diterimanya rusak atau telah habis, kecuali bila praktik pemberian hadiah
tersebut merupakan adat atau syarat yang harus dilaksanakan.
Menurut
ulama mazhab syafi’I, hadiah yamg telah diberikan harus dikembalikan, baik
dalam keadaan utuh maupun rusak. Jika barang itu utuh, maka ia dikembalikan
dalam keadaannya semula dan jika rusak, maka pihak perempuan harus mengganti
barang itu sesuai harganya. Pendapat terakhir ini merupakan pendapat yang
paling sesuai untuk diterapkan.
[1] Sayyid
sabiq, fiqih sunnah jilid II (Kuwait:Dar al-Bayayan, 1979), h. 27
[2]
Sayyid sabiq,fiqih sunnah(Jakarta:Pena Pundi Aksara,2010), h. 271
[3]
Depertemen Agama RI., Ai-Quran dan terjemahannya,(Semarang: Toha Putra,
1989),h.120
[4]
R.Abdul Djamali,hokum-hukum Islam (Bandung: Mandar Maju,1997),h.79
[5]
Syarifuddin Latif, Hukum Perkawinan di Indonesia(Watampone:CV. Berkah
Utami,2010) h. 70
[6]
Syarifuddin Latif, Hukum Perkawinan di Indonesia h. 74
[7]
Syarifuddin Latif, Hukum Perkawinan di Indonesia h. 72
[8]
Sayyid Sabiq,fiqih sunnah, h. 221
[9]
Sayyid Sabiq,fiqih sunnah, h. 221
[10]
Sayyid Sabiq,fiqih sunnah, h. 224
[11]
Sayyid Sabiq,fiqih sunnah, h. 225
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
pernikahan
adalah sebuah ikatan lahir batin antara seoarang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga
yang bahagia dan kekal yang didasarkan pada ketuhanan yang maha esa.
2.
Hokum
pernikahan terdiri atas beberapa yakni wajib, sunnat, haram, makhruh dan mubah
3.
Peraturan
perkawinan tercantum dalam UU No.1 tahun 1974 yang membahas mengenai dasar
perkawinan dan syarat-syarat perkawinan yang tercantum pasal demi pasal.
4.
Khitbah
merupakan pendahuluan dari pernikahan. Allah Swt. Mensyariatkan khitbah sebelum
dilaksanakan ikatan pernikahan agar tiap-tiap pasangan yang akan menikah
mengenal pasangannya, sehingga mendapatkan kemantapan hati melaksanakan
pernikahan
5.
Ada
beberapa hukum yang mengatur peminangan seorang wanita
B.
Saran
Penulis bersedia menerima kritik dan saran yang
positif dari pembaca. Penulis akan menerima kritik dan saran tersebut sebagai
bahan pertimbangan yang memperbaiki makalah ini di kemudian hari. Semoga makalah
berikutnya dapat penulis selesaikan dengan hasil yang lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Soemiyati, Hukum prkawianan Islam dan UU perkawian,1999 (Yogyakarta:Liberty)
Kamal Mukhtar,1993,Azas-azas
Hukum Islam tentang perkawianan (Jakarta:Bulan Bintang,)
Sayyid
sabiq,1979 fiqih sunnah jilid II (Kuwait:Dar al-Bayayan,)
Sayyid sabiq,2010fiqih
sunnah(Jakarta:Pena Pundi Aksara)
Depertemen
Agama RI,1989Ai-Quran dan terjemahannya,(Semarang: Toha Putra,)
R.Abdul
Djamali,1997,hokum-hukum Islam (Bandung: Mandar Maju)
Syarifuddin
Latif,2010 Hukum Perkawinan di Indonesia(Watampone:CV. Berkah Utami)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar