Rabu, 25 Oktober 2017

Makalah Perkawinan:Peminangan

PEMINANGAN

MAKALAH

Tugas ini dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas pada mata Kuliah Fiqih pada Jurusan Tarbiyah Prodi Pendidikan Agama Islam  Semester 3
                                                                        OLEH:
                                                Chilma Nihayatul Ulya         02161140
                                                Ulfa Reni                                02161113
                                                Asriana                                   02161127

Dosen Pemandu : Arianti,.S.Pd.I,.M.Pd
                                   
                                               
                                                PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
STAIN WATAMPONE
2017




KATA PENGANTAR



Syukur alhamdullilah senangtiasa kita panjatkan atas kehadirat Allah Swt. Karena atas berkah, rahmat, hidayat dan kesehatan dari-Nya, sehingga kita bisa menyelesaikan makalah ini. Dan tak lupa shalawat dan salam kita kirimkan untuk baginda Nabiullah Muhammad Saw, nabi yang telah membawa ummatnya dari zaman jahiliah kezaman yang terang-benderang, juga nabi yang telah diutus oleh Allah Swt. kemuka bumi ini sebagai rahmatanlilalamin.
Makalah ini kami buat dengan tujuan untuk memenuhi salah satu mata kuliah yakni Fiqih. Kami berharap dalam penyusunan makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.
Tentunya kami sadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu saran dan kritik kami perlukan dalam hal yang bersifat membangun karena tidak dipungkiri bahwa makalah ini masih terdapat kesalahan dalam penyusunanya.        
           
Watampone,23 Oktober 2017



Penyusun




DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................             ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................             iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.....................................................................................................           1
B.     Rumusan Masalah................................................................................................           2
C.     Tujuan Pembahasan.............................................................................................           2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Al-Quran............................................................................................           2
B.     Proses turunnya Al-Quran ..................................................................................            4
C.     Al-Quran turu secara bertahap.............................................................................           5
D.    Ayat pertama dan yang terakhir turun.................................................................            6
E.     Al-makkiy wa al-madaniy....................................................................................           6
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan..........................................................................................................          20
B.     Saran....................................................................................................................         20
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................          21



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pernikahan dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang luhur dan sakral, bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggungjawab, dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang harus diindahkan. Dalam Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I pasal 1, perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan tujuan pernikahan adalah sebagaimana difirmankan Allah s.w.t. dalam surat Ar-Rum ayat 21 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang (mawaddah warahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang berfikir”. Mawaddah warahmah adalah anugerah Allah yang diberikan kepada manusia, ketika manusia melakukan pernikahan.
Pernikahan merupakan sunah nabi Muhammad saw. Sunnah diartikan secara singkat adalah, mencontoh tindak laku nabi Muhammad saw. Perkawinan diisyaratkan supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan ridha Allah SWT, dan hal ini telah diisyaratkan dari sejak dahulu, dan sudah banyak sekali dijelaskan di dalam al-Qur’an:
  Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.(QS. an-Nuur ayat 32).

B.Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini yakni.
1.      Apa itu pernikahan?
2.      Bagaimana syarat dan hokum pernikahan?
3.      Apa dasar perkawinan menurut UU No.1 tahun 1974?
4.      Apa itu khitbah?
5.      Bagaimana Hukum Mengkhitbah wanita?

C.Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan makalah ini yaitu:
1.      Untuk mengetahui apa itu pernikahan
2.      Untuk mengetahui syarat dan hokum pernikahan
3.      Untuk mengetahui dasar perkawinan menurut UU No.1 tahun 1974
4.      Untuk mengetahui apa itu khitbah
5.      Untuk mengetahui hukum menghitbah sorang wanita

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pernikahan
Pernikahan merupakan upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hokum, dan norma sosial.
Dalam terminology Islam, perkawinan disebut denagn istilah nikah yaitu, suatu akad atau perjanjian antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan biologis antara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridahan kedua belah pihak untuk membangun keluarga sakinah mawaddah wa rahmah.[1] 
Dalam ilmu Fikih “nikah” disepadankan dengan istilah “Zawaj” yang mengandung dua unsur pengartian, yakni arti hakikat dan majaz. Arti hakikat dari zawaj adalah dham yang berarti menghimpit, menindih atau berkumpul. Sedang arti majaznya sedangkan arti majaznya adalah watha’ yang berartibersetubuh.[2] Pengertian pernikahan menurut Ahmad Ashar Bashir, pernikahan adalah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menhalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhai Allah swt. Menurut Muhammad Yunus pengertian pernikahan atau perkawinan ialah akad antara calon laki istri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syariat. Dalam hali ini, aqad adalah ijab dari pihak wali perempuan atau wakilnya dan Kabul dari calon suami atau wakilnya.



[1] Soemiyati, Hukum prkawianan Islam dan UU perkawian, (Yogyakarta:Liberty,1999), h.8
[2] Kamal Mukhtar, Azas-azas Hukum Islam tentang perkawianan (Jakarta:Bulan Bintang, 1993) h.1



Pengertian pernikahan atau perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, pernikahan adalah sebuah ikatan lahir batin antara seoarang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal yang didasarkan pada ketuhanan yang maha esa.
Kaitannya dengan pengertian nikah atau perkawinan, berikut ini akan dikemukakan pandangan para imam mazhab, sebagai berikut:
a.       Golongan hanafi mendefinisikan nikah sebagai berikut
“Nikah adalah akad yang memfaedahkan memiliki dan bersenang-senang dengan sengaja.[1]
b.      Golongan al-Syafi’iyah mendefinisikan nikah sebagai berikut:
Nikah itu adalah akad yang mengandung ketentuan hokum kebolehan watha’ dengan lafaz nikah atau yang semakna dengan keduanya.
c.       Golongan malikiyah mendefinisikan nikah sebagai berikut:
Nikah adalah akad yang mengandung ketentuan hokum semata-mata untuk membolehkan watha bersenang-senang dan menikmati apa yang ada pada diri seorang wanita yang boleh nikah dengannya.
d.      Golongan Hanabilah mendefinisikan nikah sebagai berikut:
Nikah adalah akad denagn menggunakan lafaz nikah atau tazwij guna membolehkan manfaat, bersenang-senang dengan wanita.
B.     Syarat sah pernikahan
Syarat sah pernikahan adalah ketentuan-ketentuanyang harus dipenuhi agar pernikahan yang dilaksanakan merupakan pernikahan yang sah dan diakui secara hokum sehingga hak dan kewajiban yang berkenaan dengan pernikahan dapat berlaku. Berikut ini merupakan syarat sah pernikahan.[2]
1.      Perempuan yang dinikahi bukan mahram
2.      Pernikahan dihadiri oleh saksi

C.    Hukum Perkawinan
Ada beberapa hokum yang berlaku pada pernikahan, yaitu sebagai berikut.
1.      Wajib
Pernikahan dieajibkan bagi mereka yang sudah mampu untuk melaksanakannya dan takut akan terjerumus kedalam perzinaan. Dalam hal ini, menjaga diri dan kehormatan dari hal-hal yang diharamkan adalah wajib. Penjagaan tersebut hanya bisa terpenuhi dengan pernikahan.
2.      Dari Sunnat
Dilihat dari pertumbuhan fisik (jasmani) seseorang telah wajar dan berkeinginan untuk menikah, serta dari segi biaya hidup bagi keluarganya kelak, seseorang dipandang berkemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya walaupun secara sederhana, maka baginya sunnat untuk melakukan perkawinan. Sedangkan bagi wanita yang belum mempunyai keinginana untuk menikah, akan tetapi butuh perlindungan atau nafkah dari seorang suami maka baginya sunnat.
3.      Haram
Seorang mengawini wanita hanya dengan maksud menganianya atau memperolok-oloknya, maka haramlah baginya untuk kawin.
4.      Makruh
Seseorang yang dipandang dari segi jasmanianya sudah wajar untuk kawin tetapi belum sangat mendesak dan biaya untuk kawinbelum ada, sehingga kalau kawin hanya akan menyenserahkan hidup istri dan anak-anaknya, maka bagi orang yang demikian makruh baginya untuk kawin.


5.      Mubah
Sebagai mana yang telah dikemumkakan bahwa melakukan perkawinan hukumnya mubah.berdasarkan Hal ini  firman Allah dalam Qur’an surah Al-Nisa ayat 24



Terjemahannya: Dan (diharamkan juga kamu mengawini ) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapakan hukum itu) sebagai ketetapannya atas kamu. Dan dihalalkan selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzinah.[3] 
D.    Tujuan Perkawinan
1.      Berbakti kepada Allah
2.      Memnuhi atau mencukupkan kodrat manusia yang telah menjadi hokum bahwa antara pria dan wanita saling membutuhkan.
3.      Mempertahankan keturunan dan ketentraman hidup rohaniah antara pria dan wanita
4.      Mendekatkan dan saling menimbulkan pengertian antara golongan manusia untuk menjaga keselamatam hidup.[4]
E.     Rukun Perkawinan
1.      Calon mempelai laki-laki dan perempuan
Mempelai laki-laki dan perempuan merupakan pihak-pihak yang hendak melakukan perkawinan[5]. Oelehnya itu baik perempuan maupun laki-laki harus memenuhi syarat-syarat tertentu supaya perkawinan yang dilakukan menjadi sah menurut hukum. Adapun syarat-syarat mempelai laki-laki yaitu:
a.       Mempelai laki-laki beragama Islam
b.      Terang bahwa memoelai laki-laki betul adalah laki-laki.
c.       Orangnya diketahui dan tertentu
d.      Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon perempuan.
e.       Calon mempelai laki-laki tahu atau kenal pada calon istri serta tahu bahwa calon istrinya halal baginya.
f.       Calon suami ridho (tidak dipaksa untuk melakukan perkawinan)
g.      Tidak sedang melakukan ihram
h.      Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istrinya, tidak sedang mempunyai istri empat
Syarat-syarat mempelai perempuan
a.       Beragama islam
b.      Terang bahwa ia perempuan bukan Khunsa
c.       Perempuan itu tertentu orangnya
d.      Halal bagi calon suami
e.       Perempuan itu bukan dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam iddah
f.       Tidak dipaksa
g.      Tidak dalam keadaan Ihram
2.      Wali nikah
Wali merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya[6]. Sayarat-syarat wali  yaitu:
a.       Berakal
b.      Baliqh, anak-anak tidak sah menjadi wali
c.       Islam
d.      Laki-laki
e.       Adil
f.       Merdeka
g.      Wali tidak sah jika dipaksa menjadi wali
h.      Wali harus cakap, tidak sah perwaliannya orang bodoh
i.        Tidak cacat penlihatannya
j.        Mahram dari perempuan yang bersangkutan
k.      Tidak sedang Ihram
3.      Akad nikah atau ijab Kabul
Akad artinya ikatan atau perjanjian. Akad nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan Kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi.
4.      Mahar
Menurut ulama mazhab Hanafi mendefinisikan mahar sebagai sejumlah harta yang menjadi hak istri karena akad perkawinan.
F.     Undang-Undang(UU) Nomor 1 tahun 1974 Tentang: Perkawinan
DASAR PERKAWINAN
Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 2
(1)   Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.
(2)   Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3
(1)   Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2)   Pengadilan dapat member izinkepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan.
Pasal 4
(1)   Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) undang-undang ini maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan didaerah tempat tinggalnya.
(2)   Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya member izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila
a.       Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
b.      Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
c.       Istri tidak dapat melhirkan keturunan.
Pasal 5
(1)   Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut
a.       Adanya persetujuan dari istri/istri-istri
b.      Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
(2)   Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin diminta persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada khabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan
SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
Pasal 6
(1)   Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
(2)   Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat isin kedua orang tua
(3)   Dalam hal seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka isin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4)   Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknaya, maka izin diperoleh dari walih , orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
(5)   Dalam hal ada perbedaan pendapat orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hokum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini.
(6)   Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hokum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.[7]
Pasal 7
(1)   Perkawinan hanya di izinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
(2)   Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita
(3)   Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut. Ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6)
Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang
a.       Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas
b.      Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara sorang dengan saudara neneknya.
c.       Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri
d.      Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan paman/bibi susuan.
e.       Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.
f.       Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Pasal 9
Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal tersebut pada pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undan ini.
Pasal 10
Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi. Sepanjang hokum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 11
(1)   Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
(2)   Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.
G.    Pengertian Khitbah
Khitbah merupakan sebuah aksi (fi’lah), ikatan(‘iqdah), dan posisi(jilsah). Contohnya seorang laki-laki mengkhitbah seorang perempuan. Artinya, laki-laki itu mengajak menikah(melamar/meminangnya) dengan cara yang lumrah dan biasa dilakukan oleh orang secara umum.
Secara bahasa, khitbah berasal dari bahasa Arab                                                   yang berarti bicara. Khitbah bisa juga diartikan sebagai ucapan yang berupa nasihat, ceramah, pujian, dan lain sebagainya[8]. Pelaku khitbah disebut khatib atau khitb, yaitu orang yang mengkhitbah perempuan. Khitbah merupakan pendahuluan dari pernikahan. Allah Swt. Mensyariatkan khitbah sebelum dilaksanakan ikatan pernikahan agar tiap-tiap pasangan yang akan menikah mengenal pasangannya, sehingga mendapatkan kemantapan hati melaksanakan pernikahan
H.    Perempuan yang boleh di Khitbah
Siapa saja yang boleh dikhitbah? Seorang laki-laki dilarang menghitbah seorang perempuan, kecuali perempuan itu memenuhi dua syarat[9].
1.      Perempuan itu tidak dalam posisi menghalanginya untuk dinikahi secara syara’.
2.      Perempuan itu tidak sedang dalam proses dikhitbah oleh laki-laki lain.
Jika pada diri perempuan yang hendak dikhitbah itu ada sesuatu yang menghalanginya untuk dinikahi secara syara’ seperti mahramnya, baik mahram abadi maupun sementara, atau perempuan itu terlebih dahulu dikhitbah oleh laki-laki lain, maka laki-laki kedua yang hendak mengkhitbah tadi tidak diperbolehkan untuk mengkhitbah perempuan itu.
I.       Hokum mengkhitbah perempuan yang sedang Iddah
Seorang laki-laki diharamkan untuk meng-khitbah perempuan yang sedang dalam masa Iddah, baik karena kematian suaminya maupun talak, baik talak satu maupun tiga. Jika perempuan itu sedang dalam masa Iddah dari talak satu, maka diharamkan untuk meng-khitbahnya, karena perempuan itu masih berada dalam ikatan pernikahan. Dalam hal ini, suaminya berhak untuk merujuknya kapanpun ia menginginkannya.
Jika perempuan itu sedang dalam masa Iddah talak tiga dari suaminya, maka diharamkan untuk mengkhitbahnya secara terang-terangan, karena hak suaminya masih berlaku atas dirinya. Suaminya berhak kembali kepadanya dengan melakukan akad nikah baru. Dalam hal ini, khitbah dari laki-laki lain terhadap perempuan yang dalam masa iddah itu dapat merampas hak dari suaminya.
Para ulama berpendapat mengenai khitbah dengan sindiran kepada perempuan yang dalam masa iddah. Pendapat yang benar adalah bahwa khitbah itu diperbolehkannya.
Bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya, khitbah dengan sindiran itu boleh dilakukan selama masa iddah, karena hubungan suami-istri antara keduanya telah terputus karena kematian. Suami tidak lagi memiliki hak atas istrinya. Dalam hal ini, tujuan pelarangan khitbah secara terang-terangan disatu sisi adalah untuk menghormati perempuan yang sedang berkabung dan disisi lain untuk menjaga perasaan sanak keluarga suaminya.
Allah swt. Berfirman,
dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan (keinginan) didalam hati. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut kepada mereka. Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian (untuk menikah) dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan kata-kata yang baik. Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa iddahnya. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada didalam hatimu, maka takutlah kepadanya…(al-baqarah {2}: 235)
Maksud perempuan-perempuan pada ayat diatas adalah perempuan yang sedabg didalam masa iddah karena kematian suaminya. Maksud sindiran adalah ungkapan laki-laki yang menggambarkan keinginannya untuk meminang tanpa menyebutkannya secara terang-terangan. Contohnya ucapan laki-laki, ‘’aku ingin sekali menikah, aku berharap semoga Allah memudahkan jalanku untu menikahi seorang wanita salehah, atau Allah telah menetapkan kebaikan bagimu.’’
Pemberian hadiah kepada perempuan yang berada pada masa iddah diperbolehkan dan hal itu termasuk sindiran. Begitu pula memuji dan menjelaskan kisi-kisi diri sebagai sindiran ajakan untuk menikah.
Para ulama berbeda pendapat mengenai seorang laki-laki yang meminang perempuan yang berada pada masa iddah secara terang-terangan, tetapi melaksanakan akad pernikahan setelah masa iddahnya habis.[10]
1.      Imam Malik berpendapat bahwa keduanya harus dipisahkan, baik sudah terjadi hubungan suami istri maupun belum.
2.      Imam Syafi’I berpendapat bahwa akad yang dilaksanakan tetap sah walaupun ia telah melakukan larangan yang telah ditetapkan karena perbedaan kondisi.
Akan tetapi, jika akad pernikahan dilaksanakan pada masa iddah, para ulama bersepakat bahwa keduanya harus dipisahkan, walaupun telah terjadi hubungan suami istri.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah nanti mereka diperbolehkan untuk menikah lagi? Dalam hal ini, jiga terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama.
1.      Imam Malik, Laits, dan Auza’I berpendapat bahwa laki-laki tadi tidak boleh menikahi perempuan itu lagi nantinya.
2.      Jumhur Ulama berpendapat bahwa laki-laki tadi diperbolehkan untuk menikahi perempuan itu jika telah habis masa iddahnya, jika ia berkehendak.
J.      Hukum mengkhitbah tunangan orang lain
Seorang laki-laki diharamkan untuk meminang perempuan yang telah dipinang oleh laki-laki lain karena hal itu melanggar hak laki-laki yang meminang sebelumnya sekaligus akan melukai perasaannya. Perbuatan itu akan menimbulkan perpecahan dan persiteruan diantara mereka
Larangan tersebut berlaku apabila perempuan tersebut atau walinya sudah menerima lamaran laki-laki pertama secara tegas atau jelas.
Dalam hal ini, khitbah boleh dilakukan oleh laki-laki kedua apabila memenuhi beberapa hal berikut.
1.      Pihak perempuan sudah menolak khitbah laki-laki pertama atau menjawabnya dengan sindiran, misalnya dengan mengucapkan, “aku tidak membencimu”
2.      Laki-laki kedua tidak mengetahui adanya khitbah laki-laki pertama.
3.      Pihak perempuan belum member kepastian kepada laki-laki pertama, apakah ia menerima atau menolak lamarannya.
4.      Laki-laki pertama telah memberikan isin kepada laki-laki kedua[11].
Syafi’I meriwayatkan hadis bahwa ketika seorang laki-laki meminang seorang perempuan dan perempuan itu menerima pinangannya(perempuan tadi)
Apabila laki-laki yang ingin meminang tidak mengetahui jawaban perempuan tadi atas pinangan laki-laki pertama, maka ia boleh meminangnya. Tetapi, apabila ia meminang setelah perempuan tadi menerima pinangan laki-laki pertama, maka ia telah berdosa.
Jika kemudian mereka menikah, pernikahan itu sah secara syara’ karena larangan tadi berlaku dalam hal khitbah dan bukan termasuk syarat sahnya pernikahan. Karena itu, pernikahan tersebut tidak perlu dibatalkan. Tetapi, dawud berpendapat lain, ‘’Apabila peminang kedua menikahi perempuan tadi, maka pernikahan harus dibatalkan baik sebelum maupun sesudah melakukan pernikahan.’’


K.    Hokum memandang perempuan yang akan dikhitbah
salah satu factor yang dapat memantapkan, menentramkan, dan melanggengkan kehidupan berumah tangga adalah pandangan seorang laki-laki kepada perempuan sebelum melakukan khitbah, sehingga ia dapat mengetahui kadar kecantikannya. Dengan melihat calon pasangannya itu akan memotovasi dan memantapkan hati laki-laki untuk menikahi perempuan tersebut atau keburukannya yang memicunya untuk berpaling bila tidak menyukainya.
Seorang yang berakal tidak akan melakukan sebuah pekerjaan sebelum mengetahui baik buruknya perbuatan itu. A’masy berkata, ‘’swtiap pernikahan yang tidak didahului dengan pandangan, pada akhirnya hanya akan menghadirkan kegelisahan dan kerisauan.
Beberapa pandangan sebelum khitbah itu sangat dianjurkan oleh syariat. Beberapa dail yang mendukung antara lain.
1.      Jabir bin Abdullah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. Bersabda,
‘’ketika seseorang meminang perempuan, jika memungkinkan, hendaknya ia memandang perempuan itu untuk melihat sesuatu yang dapat memotivasi dirinya untuk menikah dengannya.
Jabir berkata,’’ketika aku ingin meminang seorang perempuan dari bani salamah, aku bersembunyi mengendap-endap untuk dapat melihatnya, sehingga aku menemukan sesuatu yang memotivasiku untuk menikahinya.’’
2.      Mugirah bin Syu’bah meriwayatkan bahwa dirinya meminang seorang perempuan, rasulullah saw bertanya kepadanya, ‘’apakah kau sudah melihatnya?’’
Ia menjawab,’’belum.’’
Rasulullah saw. Bersabda, “lihatlah ia terlebih dahulu, niscaya hal itu lebih berpotensi untuk dapat melanggengkan hubungan (kasih sayang) diantara kalian nantinya.’’
3.      Abu Huraira a.r meriwayatkan bahwa seorang laki-laki bermaksud meminang perempuan anshar, Rasulullah saw bertanya kepadanya “apakah kau sudah melihatnya?”
Laki-laki itu menjawab, “belum”
Rasulullah saw bersabda, “pergi dan lihatlah ia terlebih dahulu, sesungguhnya di dalam mata kaum anshar ada sesuatu(kecil/sipit)”
L.     Hukum dan dampak negative membatalkan khitbah
Khitbah(pertungan) merupakan tindakan pendahuluan yang dilakukan sebelum pernikahan. Didalam pelaksanaanya, kebanyakan orang mulai menyerahkan mahar, baik secara keseluruhan maupun sebagainya, member hadiah dan hibah (hantaran), mempercepat silaturahmi, dan mengukuhkan pertalian diantara keluarga keduanya.
Terkadang pembatalan pertunangan bisa saja terjadi, baik berasal dari pihak laki-laki, pihak perempuan, maupun dari kedua belah pihak secara bersamaan. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah hal itu diperbolehkan? Dan bagaimana dengan hadiah yang telah diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Adakah keharusan untuk mengembalikannya?
Pada dasarnya khitbah hanyalah janji untuk menikah, bukan akad pernikahan itu sendiri. Pembatalan khitbah merupakan hak dari tiap-tiap pihak yang saling berjanji. Tidak ada konsekuensi hokum bagi mereka yang membatalkannya. Tetapi, islam menggolongkan pembatalan itu kedalam perilaku yang tidak terpuji dan memasukannya kedalam golongan sifat munafik, kecuali jika dalam pembatalan itu ada alasan dan kepentingan yang cukup mendesak yang menjadikan mereka tidak dapat menetapi janji.
Berkenaan dengan mahar, ketika terjadi pembatalan khitbah, laki-laki berhak untuk mengambil kembali mahat yang telah diberikan dalam rangka pernikahan. Selam pernikahan belum terlaksana, maka pihak perempuan tidak memiliki hak sedikitpun atas mahar yang diberikan dalam rangka pernikahan. Selama pernikahan belum terlaksanakan maka pihak perempuan tidak memiliki hak sedikit pun atas mahar yang diberikan ia harus mengembalik mengembaikannya karena merupakan hak laki-laki sepenuhnya.
Mengenai hadiah, ia mengambil posisi hibah (hantaran). Hadiah tidak boleh dikembalikan jika itu murni pemberian, tanpa adanya ikatan atu syarat, karena penerima hadiah berhakdan menjadi pemilik apa yang telah diberikan kepadanya sejak ia menerimanya. Ia berhak mempergunakan dan memanfaatkan apa yang telah menjadi miliknya. Pengambilan kembali hadiah yang telah diberikan merupakan perampasan hak milik tanpa kerelaan pemiliknya. Hal itu merupakan perbuatan batil menurut Islam. Akan tetapi, jika hibah diberikan dalam rangka mengharapkan balasan dari penerima, maka jika penerima itu belum melaksanakan apa yang diminta, pemberi berhak untuk mengambil kembali apa yang telah diberikan. Dalam keadaan seperti ini, pemberi berhak meminta kembali apa yang telah dihibakan karena yang memberikannya atas dasar sesuatu yaitu pernikahan. Apabila pernikahan tidak terlaksana, maka laki-laki berhak mengambil kembali hadiah yang telah diberikannya.
Ibnu Abbas r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda bahwa :
seseorang dilarang untuk memberikan pemberian atau hadiah kemudian mengambilnya kembali, kecuali hadiah atau pemberian yang diberikan dari orang tua kepada anaknya”
 “seseorang yang mengambil kembali pemberiannya, ibarat orang yang menelan muntahnya kembali”
            Salim r.a meriwayatkan dari ayahnya bahwa Rasulullah SAW bersabda :
barang siapa yang memberikan suatu pemberian, maka sesungguhnya ia lebih berhak atas pemberiannya itu diganti dengan kompensasi”
            Metode yang digunakan dalam memadukan hadist-hadist diatas adalah seperti disebutkan didalam a’lam al-muwaqqi’in hibah yang tidak boleh diminta atau diambil kembali adalah hibah yang diberikan secara tulus, dalam artian tanpa meminta imbalan apapun, sedangkan hibah yang diberikan dalam rangka mengharapkan sesuatu dari penerima, maka hibah itu bileh diambil kembali selama penerim belum melaksanakan apa yang ia kehendaki. Dengan begitu, sunnah rasul didalam hadist-hadistnya dapat terpenuhi tanpa tumpang-tindih antara hadist-hadist itu.
            Sementara itu, segala bentuk perbuatan yang dilakukan berdasarkan hokum yang berlaku merupakan penerapan fiqih mashab hanafi. Ulama mashab ini berpendapat bahwa laki-laki berhak untuk mengambil kembali hadiah yang telah ia berikan kepada tunangannya jika barang itu berharga dan tidak berubah dari bentuk aslinya sejak saat diberikan, misalnya gelang, cincin, kalung dan jam tangan. Laki-laki diperbolehkan untuk memintanya kembali jika barang-barang masih ada dan utuh. Jika hadiah itu berubah, hilang terjual, berupa makanan yang telah dikonsumsi,atau kain yang telah dijahit menjadi baju, maka hadish itu tidak boleh diminta kembali, baik dalam bentuk barang itu sendiri maupun penggantinya
            Ulama mazhab maliki berpendapat lain. Mereka membedakan antara pembatalan khitbah dari pihak laki-laki dan perempuan. Jika pembatalan berasal dari pihak laki-laki, maka ia tidak berhak meminta kembali hadiah yang telah diberikan kepada pihak perempuan. Tetapi, apabila pembatalan diajukan oleh pihak perempuan, maka laki-laki tadi berhak untuk mengambil semua hadia yang telah ia berikan. Dalam hal ini, pihak perempuan berkewajiban untuk mengembalikannya atau menggantinya bila barang yang telah diterimanya rusak atau telah habis, kecuali bila praktik pemberian hadiah tersebut merupakan adat atau syarat yang harus dilaksanakan.
Menurut ulama mazhab syafi’I, hadiah yamg telah diberikan harus dikembalikan, baik dalam keadaan utuh maupun rusak. Jika barang itu utuh, maka ia dikembalikan dalam keadaannya semula dan jika rusak, maka pihak perempuan harus mengganti barang itu sesuai harganya. Pendapat terakhir ini merupakan pendapat yang paling sesuai untuk diterapkan.













[1] Sayyid sabiq, fiqih sunnah jilid II (Kuwait:Dar al-Bayayan, 1979), h. 27
[2] Sayyid sabiq,fiqih sunnah(Jakarta:Pena Pundi Aksara,2010), h. 271
[3] Depertemen Agama RI., Ai-Quran dan terjemahannya,(Semarang: Toha Putra, 1989),h.120
[4] R.Abdul Djamali,hokum-hukum Islam (Bandung: Mandar Maju,1997),h.79
[5] Syarifuddin Latif, Hukum Perkawinan di Indonesia(Watampone:CV. Berkah Utami,2010) h. 70
[6] Syarifuddin Latif, Hukum Perkawinan di Indonesia h. 74
[7] Syarifuddin Latif, Hukum Perkawinan di Indonesia h. 72
[8] Sayyid Sabiq,fiqih sunnah, h. 221
[9] Sayyid Sabiq,fiqih sunnah, h. 221
[10] Sayyid Sabiq,fiqih sunnah, h. 224
[11] Sayyid Sabiq,fiqih sunnah, h. 225




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      pernikahan adalah sebuah ikatan lahir batin antara seoarang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal yang didasarkan pada ketuhanan yang maha esa.
2.      Hokum pernikahan terdiri atas beberapa yakni wajib, sunnat, haram, makhruh dan mubah
3.      Peraturan perkawinan tercantum dalam UU No.1 tahun 1974 yang membahas mengenai dasar perkawinan dan syarat-syarat perkawinan yang tercantum pasal demi pasal.
4.      Khitbah merupakan pendahuluan dari pernikahan. Allah Swt. Mensyariatkan khitbah sebelum dilaksanakan ikatan pernikahan agar tiap-tiap pasangan yang akan menikah mengenal pasangannya, sehingga mendapatkan kemantapan hati melaksanakan pernikahan
5.      Ada beberapa hukum yang mengatur peminangan seorang wanita
B.     Saran
Penulis bersedia menerima kritik dan saran yang positif dari pembaca. Penulis akan menerima kritik dan saran tersebut sebagai bahan pertimbangan yang memperbaiki makalah ini di kemudian hari. Semoga makalah berikutnya dapat penulis selesaikan dengan hasil yang lebih baik lagi.





DAFTAR PUSTAKA

Soemiyati, Hukum prkawianan Islam dan UU perkawian,1999 (Yogyakarta:Liberty)

Kamal Mukhtar,1993,Azas-azas Hukum Islam tentang perkawianan (Jakarta:Bulan Bintang,)
Sayyid sabiq,1979 fiqih sunnah jilid II (Kuwait:Dar al-Bayayan,)

Sayyid sabiq,2010fiqih sunnah(Jakarta:Pena Pundi Aksara)
Depertemen Agama RI,1989Ai-Quran dan terjemahannya,(Semarang: Toha Putra,)

R.Abdul Djamali,1997,hokum-hukum Islam (Bandung: Mandar Maju)

Syarifuddin Latif,2010 Hukum Perkawinan di Indonesia(Watampone:CV. Berkah Utami)